Minggu, 22 Agustus 2010

Mahkamah Syariah dalam Prespektif UU No 11 Tahun 2006

Oleh: Irvan Lukman






PALANGKA RAYA, Penyaksi_



Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengatur tentang otonomi khusus suatu daerah atau bersifat istimewa, Daerah yang mendapatkan otonomi khusus tersebut adalah NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dan Papua, Keduanya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal tersebut merupakan perwujudan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.



Salah satu bentuk formal otonomi khusus Aceh adalah implementasi syariah islam yang kemudian dibentuklah Mahkamah Syar'iyah yang merupakan salah satu bagian dari otonomi khusus Aceh.Mahkamah Syar'iyah didalam UU No 11 tahun 2006 diatur pada bab XVII pasal 128 sampai dengan 137,merupaka peradilan Islam diaceh dan merupakan bagian dari sistem peradilan Nasional dalam lingkungan Peradilan Agama.



Pada Mahkamah syar'iyah dilakukan azas personalitas keislaman,yaitu Mahkamah syar'iyah merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa,memutus,dan menyelesaikan perkara-perkara hukum islam terhadap setiap orang yang berada di aceh tanpa membedakan kewarganegaraa,kedudukan dan status dalam wilayah Provinsi Aceh, Azas personalitas keislaman yang melekat pada Mahkamah Syar'iyah.



Yakni, 1 Yang berperkara harus sama2 pemeluk Agama Islam, 2 Perkara hukum yang disengketakan/didakwakan adalah perkara dalam bidang hukum Ahwal Al-Ayakhshiah ( Hukum Perorangan ) muamalah ( Hukum Perdata ) dan Jinayah ( Hukum Pidana ).



Dalam hal bila terjadi perbuatan pidana ( Jinayah ) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya non muslim dapat memilih hukum mana yang akan digunakan di pengadilan,dan atau menundukan diri secara suka rela pada hukum pidana islam ( Jinayah ).



Bagi non muslim yang melakukan perbuatan Jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan hukum pidana diluar KUHP berlaku hukum Jinayah (Hukum Pidana Islam) dan penduduk Aceh yang melakukan perbuatan Pidana (Jinayah) diluar Aceh berlaku ketentuan yang diatur dalam KUHP.



Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Pengadilan Tingkat pertama (Kota/Kabupaten) dan Mahkamah Syar'iyah Tinggi ( Peradilan Tingkat Banding ) uang berada di ibukota Provinsi.



Bagi para pencari keadilan yang tidak puas dengan putusan banding maka dapat mengajukan kasasi Kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari sejak didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung, bahkan terhadap putusan Mahkamah Syar'iyah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK ( Penunjauan kembali ) Kepada Mahkamah Agung.



Apabila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam peraturan perundang-undangan atau ada Novum/bukti baru. Perkara PK tersebut menyangkut nikah,talak,cerai dan rujuk,diselesaikan paling lambat 30 sejak didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung.
Hukum Acara yang berlaku pada Mahkamah Syar'iyah adalah Hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh (Peraturan yang sejenis dengan perda) Provinsi Aceh.



Sehubungan dengan Qanun tentang hukum acara Mahkamah Syar'iyah belum ada maka hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar'iyah sepanjang mengenai Ahwal Al-Ayakhshiah ( Hukum Perorangan ) muamalah ( Hukum Perdata ) adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan Agama.



Dan Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar'iyah sepanjang mengenai Jinayah ( Hukum Pidana ) adalah Hukum Acara pada Peradilan Umum.



Penyelidikan dan penyidikan perkara jinayah dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Polri ) dan Penyidik Pegawai negeri sipil.



Prinsip peradilan satu atap yang telah digariskan dalam UU N0 4 tahun 2004 tentang kekuasaan pokok kehakiman berlaku juga bagi Mahkamah Syar'iyah sehingga pembinaan teknis peradilan, organisasi dan administrasi dilakukan oleh MA sedangkan Hakim pada mahkamah syar'iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA.



Bila ada sengketa kompetensi antara mahkamah syar'iyah pengadilan dalam lingkungan peradilan yang lain menjadi wewenang MA untuk pertama dan terakhir.



Agar Mahkamah syar'iyah dapat berfungsi optimal bagi para pencari keadilan di harapkan kepada pemerintah Aceh untuk segera melengkapi perangkat peraturan Perundang-undangan ( Qanun ) baik Qanun material maupun formil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar