Sabtu, 07 Agustus 2010

Akal Bolos atau Akal Bulus?

Karya:ARSWENDO ATMOWILOTO)**







Penyaksi_






Maaf lo ya, ini bukan judul akal-akalan karena ada dasarnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang resmi, padanan kata bolos adalah bulus. Bulus itu kura-kura kecil di air tawar.



Kalau akal bulus bisa diartikan pandai menipu atau licik. Entah kenapa binatang kecil dipersepsikan sebagai tukang tipu. Sedangkan bolos, mangkir, atau meloloskan diri, kita semua pernah melakukannya, kecuali yang tak pernah sekolah. Hanya bobotnya berbeda ketika perbuatan itu dikaitkan dengan para Wakil Rakyat atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tekan sang.
.



Entah kenapa juga berita tentang mereka ini berhamburan dan serba merendahkan kedudukannya. Maka ketika nama para pembolos diumumkan di media terjadi protes. Salah satu yang menarik dari keberatan itu adalah: kenapa hanya anggota pembolos yang diumumkan, kenapa para pimpinan yang membolos disembunyikan.



Terbaca di sini bahwa para Wakil Rakyat ini merasa ogah dan gerah dikontrol media. Bisa dimengerti kalau mengingat mereka ini lebih setia dan bertanggung jawab kepada partai politik (parpol). Bukankah parpol yang mengatrol dan mendudukkan mereka ke kursi terhormat, dan bukan media? Atau juga setia ke fraksinya, yang memberi jatah dan rezeki.



Dengan demikian juga bisa dimengerti kalau perlindungan dan alasan membolos akan dibela oleh parpol dan fraksi yang akan menjelaskan ada tugas-tugas penting lain. Sekali lagi, bukan media yang membelanya. Apakah ini memperjelas keberadaan mereka sebagai wakil parpol dan bukan wakil rakyat.



Itu bisa diartikan sebagai tafsiran sesat. Peristiwa ini boleh dibilang berat. Soalnya tak ada kesinambungan antara yang diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi dan yang bisa dilakukan para pejabat atau aparat atau Wakil Rakyat.



Bukankah di sekolah ketika kita menerima rapor, di situ ada angka-angka prestasi dan –kata sambung ini sama pentingnya– dengan kehadiran? Berapa kali alpa, atau sakit, atau bahkan terlambat– untung tingkatan akademi.



Tiga kali terlambat masuk artinya sama dengan sekali membolos. Tiga kali membolos dalam satu semester berarti harus mengulang lagi. Sepandai apapun, berapa grade yang diperoleh, dikurangi 20% kalau membolos, sulit mendapatkan nilai untuk bisa lolos ke semester berikutnya. Tata krama yang ada di sekolah atau perguruan tinggi yang penuh sanksi ini tidak menemukan kelanjutannya. Ini yang saya maksudkan bisa gawat.



Peristiwa ketidakhadiran–lebih netral dibandingkan dengan bolos–para Wakil Rakyat, dengan segala protesnya, akan bermuara penjelasan dan alasan. Sampai di sini wilayahnya berubah ke wilayah adu argumentasi atau silat lidah.



Pastilah selalu ada alasan yang bisa dikemukakan, dan atau difaktualkan. Misalnya absen karena sakit dan dibuktikan dengan mudah oleh surat keterangan dokter. Atau ada tugas mendadak.



Atau sejenis itu yang tak bisa ditolak. Muncul tokoh dengan peranan sebagai pokrol, pembela, seakan sedang berada dalam perkara. Lagi-lagi kelihaian berputar lidah menjadi takaran dan penilaian. Mungkin memang harus begitu. Namun, yang surut adalah bagaimana sebenarnya membenahi diri, bagaimana mengatasi dan menyelesaikan masalah sebenarnya.



Bahwa memang ada Wakil Rakyat yang tidak berada di tempat kerja saat diperlukan. Bukan bagaimana menghindari tudingan, dan balik menuding. Karena kalau berhenti di sini, kita menjebakkan diri selalu berkilah tentang akibat dan bukan membicarakan sebab.



Kebetulan atau kesengajaan beberapa peristiwa belakangan ini memang tidak menyenangkan para anggota DPR. Bukan hanya kasus-kasus besar, sebagian terlibat penyuapan atau pembangunan kembali gedung miring atau studi banding, melainkan soal absensi, perbaikan perumahan dinas, dan mungkin jas atau dasi yang dikenakan.



Semua kena gunjing sehingga kewibawaan dan legitimasinya terus-menerus digerogoti atau dijebol. Lama-lama bisa ambrol juga kalau gaya tidur, gaya mendengkur, menjadi sajian media. Sangat disayangkan karena masyarakat juga yang dirugikan. Kepercayaan yang tersisa menjadi sia-sia.



Kalau sudah begini suasananya, biasanya yang berkembang biak adalah teriak saling menyalahkan, termasuk: salahnya sendiri memilih saya. Rasa-rasanya bukan itu yang kita kehendaki bersama.



Untuk itu, barang kali saja setiap ada persoalan, kita berfokus ke arah penyelesaian soal itu sendiri. Bukan melebar ke pembukaan aib lain. Kalau kini kita membicarakan bagaimana mengefektifkan para Wakil Rakyat, itulah inti permasalahannya.



Dengan cara bagaimana yang harus diterima bersama. Dan bukan penjelasan dan bantahan perlu tidaknya sidik jari sebagai pengganti tanda tangan. Bukan soal apa kecenderungan melihat dari permasalahan banyak sekali terjadi akhir-akhir ini.



Kasus video mesum-mesra, kasus infotainment, kasus tabung gas, kasus kemacetan, menjadi ke sana-ke mari. Dalam arti menggeser persoalan sebenarnya dan tak ada hasil pasti yang bisa menjadi tolok ukur apakah mesum atau mesra, apa sebenarnya infotainment, dan sebagainya.



Dalam seretan kasus yang hingar-bingar, rasa-rasanya kita butuh yang mau mendengar, yang mampu bernalar, dan belajar untuk menahan diri menghentikan sebab agar tak terus berulang lagi. Maaf lo ya….

**) Budayawan

1 komentar:

  1. jikakakakakakakakakak,,,dasar mantep mas arswendo iki,,,,emang udah ngak jelas isu yg d hembuskan d negara ini,,baru muncul ini eh keluar itu
    utk yg katay wakil rakyat baca noh,,tp ingat refleksiy jgn lama2,,entar keduluan kiamat

    BalasHapus