Memerdekakan Pikiran, Meliarkan Imajinasi, untuk Melihat Dunia Seutuhnya!
Kamis, 28 April 2011
Rumah Lanting di Tengah Kota
Antara Kebutuhan, Keinginan dan Keterpaksaan
PALANGKA RAYA_ penyaksi.com
“Sudah ke Jembatan Kahayan?, tak lengkap loh kalau belum berkunjung kesana”. Kata itu selalu di ucapkan masyarakat Kota Palangka Raya jika ada orang atau keluarga yang baru pertama kali datang ke ibukota provinsi Kalimantan Tengah ini.
Apabila dilihat sepintas, sebenarnya tak ada yang istimewa dengan Jembatan tersebut. Sebab, di seantero nusantara ini cukup banyak dan mudah di temukan. Selain itu bentuk jembatan Kahayan dengan jembatan yang ada di berbagai daerah, khususnya di Kabupaten se Kalteng hampir sama.
Hanya, bila berada di jembatan Kahayan yang konon katanya buatan negara Rusia itu, menawarkan pemandangan menarik, unik, dan kontras. Bagaimana tidak, di sisi kanan (jika dari Palangka Raya menuju kabupaten Gunung Mas, rek) bawah jembatan tampak berdiri rumah yang jumlahnya ratusan bahkan mungkin ribuan. Rumah itu tak menyentuh tanah atau diatas air sungai kahayan. Masyarakat sini menyebutnya rumah lanting.
Karena jumlahnya yang banyak serta memanjang mengikuti arus sungai, terlihat bagaikan liukan bodi ular, bila melihatnya dari atas Jembatan kahayan. Seluruh rumah lanting itu berbahan dasar kayu, baik lantai, dinding, hingga jembatan penghubung dengan tetangga dan dunia luar. Atapnya berragam, ada seng, rumbia, sirap, dan lainnya.
Kalau melihat ke sisi kiri, akan tampak aktivitas yang padat serta antrian mobil maupun motor di suatu SPBU. Tak jauh dari SPBU itu, berdiri tinggi dengan gagah sebuah hotel, namanya Amaris. Jika balik kanan dan memandang lurus, bangunan palma (palangka raya mall) setinggi empat lantai menanti. Geser sedikit pandangan ke kiri, Gedung wakil rakyat Bumi Tambun Bungai atau DPRD Provinsi Kalteng.
Andai di ukur dengan meteran, mungkin jarak jembatan kahayan dengan lanting, SPUB, Hotel, Palma, dan gedung Dewan, tak lebih dari dua kilometer. Ouh, ternyata rumah lanting itu di tengah kota.
Sehingga bila disimpulkan dalam pertanyaan, mengapa masih banyak warga yang tinggal di atas air sungai kahayan. Padahal daerah ini wilayahnya sangat luas, banyak lahan kosong yang ditumbuhi ilalang. Apakah karena kebutuhan, keinginan, atau keterpaksaan?
“Kalau ada uang, ngapain tinggal di lanting. Saya tak punya kerjaan menetap, suami sudah meninggal, anak satu dan sekarang kelas satu SMP. Ingin sebenarnya pulang ke banjar, tapi kerjaan di sana juga tak ada, lebih baik di sini,” ucap Karni, salah satu warga yang tinggal di rumah lanting pinggir sungai kahayan.
Karni mengaku baru beberapa tahun tinggal di rumah lanting. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dirinya harus kerja keras dengan mengharapkan pekerjaan dari tetangga. Membersihkan beras di warung, memberi makan ikan dan memancing, dan lainnya selalu di lakoninya.
“Ya mau gimana lagi, apapun demi bertahan hidup apapun dilakukan asal tak haram. Syukurlah tetangga di sini baik-baik dan mau memberi pekerjaan,” ungkapnya sembari membersihkan beras dalam tampa di depan warung.
Sementara, Jambran yang juga tinggal di pinggiran sungai kahayan mengatakan tinggal di lanting merupakan tuntutan pekerjaan. Dimana dirinya berprofesi sebagai peternak ikan dan buruh bansau. Karena, selain punya rumah lanting, dirinya juga memiliki rumah di jalan Tanjung Pinang. “Kalau saya tinggal di Tanjung Pinang, tak ada yang memberi makan dan menjaga tambak,” ujarnya.
Menurut bapak empat anak ini, tinggal di pinggir sungai sama saja dengan di rumah yang berdiri diatas tanah. Saling bercanda dengan tetangga, kumpul untuk asinan atau acara lainnya, saling membantu, dan banyak hal.
Di samping itu ada juga karena sudah begitu lama dan terbiasa tinggal di lanting, padahal sudah haji dan punya rumah besar. “Kalau pak haji itu santai saja tinggal di lanting. Itu diatas sana ada rumahnya,” ungkap Jambran sembari menunjuk ke sebuah rumah yang luasnya berkisar 6x10 meter.
Untuk memerbaiki atau membesarkan rumah lanting, sangat jarang dilakukan, paling cepat itu sekali dalam dua tahun, itupun menggantikan yang sudah lapuk atau hanyut di bawah air. “Untuk harga papan atau baloknya ya pasti lah semakin mahal” pungkasnya.
Luas rumah lanting di sekitar pinggiran sungai tersebut 3x4 meter dan 4x6 meter. Walau tampak sederhana dari luar, tapi berbagai perabotan rumah tangga banyak di temukan. Ada TV, magicjar, dispenser, lemari es, lemari pakaian yang cukup besar, sofa, dan lainnya. Walaupun, masih ada beberapa rumah yang hanya kasur dan, lemari kecil serta perlengkapan makan maupun masak.
Satu hal yang menjadi pertanyaan besar selama peliputan ini. Warga yang tinggal di sekitar rumah lanting cenderung tertutup begitu mengetahui lawan bicaranya wartawan. Saat ditanya, ada apa? Apakah karena banyak bansau di lokasi itu? Atau malu namanya di tampilkan di sebuah koran?. Hanya sebuah senyuman jawaban dari semua pertanyaan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar