PALANGKA RAYA. Penyaksi.com_
Tak Ada Ijin Pertambangan Keluar Tanpa Uang
Sejak turun dari pesawat terbang, memasuki bandara Tjilik Riwut dan keluar dari pintu gerbang, aroma korupsi sudah begitu terasa di Provinsi Kalimantan Tengah (kalteng) sangat tinggi. Di mana kebersihan gedung maupun sarana dan prasarana bandara kurang memadai, pelayananya sangat buruk, sehingga itu menandakan ada cerminan korupsi marak di daerah ini.
Kemudian, perjalanan menuju ke hotel terlihat ada beberapa potensi sumber daya alam (SDA) yang seharusnya menunjukkan kemajuan pembangunan di daerah ini. Namun, itu semua tak tampak, karena perkembangan kota ini jauh dari harapan, bahkan seolah-olah tidak memiliki potensi apapun.
Demikian dikatakan Ketua Umum gerakan nasional pemberantasan korupsi (GNPK) Republik Indonesia, Adi Warman, usai membuka diklat khusus dasar-dasar penanganan korupsi, Rabu (31/3), di hotel Global, Palangka Raya.
Adi menjelaskan, indikasi maraknya tindak pidana korupsi di Kalteng mulai dari pengeluaran surat kuasa izin pertambangan, penyalah gunaan keuangan negara, dan terpenting pengadaan barang dan jasa.
Seperti di ketahui, keluarnya izin kuasa pertambangan merupakan lahan subur bagi pemerintah setempat untuk korupsi. Sebab, proses pengeluaran izin tersebut pasti mengeluarkan dana yang begitu besar dari pengusaha pertambangan.
“Saya pastikan, tak ada izin pertambangan tanpa mengeluarkan duit. Nonsen itu kalau pejabat menyatakan tak ada,” tegas Ketua Umum GNPK Pusat ini.
Adi menambahkan, selain izin kuasa pertambangan proses pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah juga rentan dilakukan korupsi. Dimana korupsi terjadi mulai dari penentuan hingga pelaporan serta audit keuangan pengadaan barang dan jasa.
Pada saat penentuan atau penilaian kebutuhan, beberapa perusahaan menawarkan pengadaan barang dan jasar ke instansi penyelenggara. Padahal barang atau jasa tersebut sama sekali tak dibutuhkan masyarakat. Sehingga, penyedia barang akan menaikkan jumlah barang yang disediakan melebihi kebutuhan agar mendapatkan keuntungan besar.
Tahap persiapan dokumen tender, di mana dokumen sengaja diarahkan ke salah satu kontraktor tertentu. Kemudian barang ataupun jasa yang dibutuhkan sengaja di kurangi agar menguntungkan kontraktor tertentu. Bahkan kompleksitas proyek di dokumen maupun tender sengaja di hilangkan untuk mempersulit proses pengawasan.
Pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender, juga rawan tindak pidana korupsi. Sebab pembuat kebijakan bersikap tak adil dengan cara menyusun kriteria yang subyektif. Hal lain yang juga sering dilakukan memberi informasi rahasia kepada peserta tertentu sebelum penawaran di mulai.
“Kontraktor mana yang tak mau dapat informasi rahasia agar menang proyek sebelum lelang diadakan. Si pemberi informasi pasti dapat uang, itu trik-trik yang mendarah daging,” tutur Adi.
Dia melanjutkan, tahap pelaksanaan pekerjaan, dimana barang yang disediakan memiliki mutu lebih rendah dari mutu yang tercantum di dokumen tender. Hal itu dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Disamping itu, pengawasan lapangan akan disuap agar tak menyampaikan kondisi nyata tentang barang ataupun jasa tersebut.
Lebih parah lagi, pada tahap pelaporan dan audit keuangan. Di posisi ini kontraktor akan melakukan berbagai upaya maupun memberi uang ke auditor atau akuntan agar memberikan laporan yang tak benar serta memaparkan bukti-bukti akuntasi palsu.
“Pokoknya proses atau tahapan pengadaan barang dan jasa itu rawan korupsi, bahkan banyak pihak yang terlibat,” kata Ketua Umum GNPK Pusat ini.
Menurut Adi, dari sekian banyak modus operandi korupsi di suatu daerah jika dikelompokkan dapat menjadi delapan perkara jenis tindak pidana korupsi (TPK). Adapun kedelapan TPK, yakni pengadaan barang dan jasa yang dananya dari APBN ataupun APBD, penyalahgunaan anggaran, perizinan SDA tak sesuai ketentuan.
Kemudian penggelapan dalam pengangkatan jabatan, pemerasan maupun penerimaan suap dalam jabatan, gratifikasi, dan penerimaan uang dan barang yang tak berhubungan dengan jabatan. “Jadi Tak ada satupun koruptor yang tak pintar, semua pintar dan paham aturan. Makanya kasus korupsi rumit untuk dibongkar,” katanya.
Adi menegaskan, yang lebih menyedihkan sekarang ini di Negara Indonesia, pejabat atau PNS yang korupsi dibawah Rp25 juta tidak akan di proses. Sebab, korupsi diatas ratusan juta bahkan miliaran rupiah menjadi prioritas penanangan dan banyak terjadi di berbagai daerah.
Tak ditanganinya korupsi di bawah Rp25 tercantum dalam rancangan peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dalam waktu dekat akan dibahas DPR RI. “Kalau sepuluh orang PNS korupsi Rp25 juta, sudah berapa jumlahnya. Rancangan UU tipikor itu harus bersama-sama kita tolak. Jangan biarkan korupsi merajalela di negri ini,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar