Senin, 23 April 2012

Aktivis Lingkungan Pembuat Onar, Diancam, hingga Berdemo ke Jerman

PALANGKA RAYA, penyaksi.com_ Perkawinan kapitalisasi dengan birokrasi, bak raksasa yang tak pernah tidur, selalu siap menghisap serta membumi hanguskan para aktivis lingkungan. Alhasil, perduli dan berjuang menjaga serta melestarikan lingkungan hidup, tantangan terberat dimasa kini.

Nurdin, aktivis lingkungan yang juga pendiri Save our Borneo (SOB), pernah merasakan ganasnya raksasa penghisap sumber daya alam (SDA) di Indonesia ini. Ancaman demi ancaman selalu menghiasi telepon selulernya. Tuduhan pembuat onar atau pengganggu merupakan gelar yang diberikan para pengelola perusahaan besar di Bumi Tambun Bungai ini.

Todongan senjata serta uber-uber atau dikejar aparat kepolisian dari satu hotel ke hotel lain, bagian dari kelamnya sejarah bangsa ini, pun pernah dirasakannya. Kejadiannya sekitar tahun 1997 silam, ketika berhasil merekam perbincangan tentang kawasan sejuta hektar lahan gambut, di Kapuas, yang sekarang ini terlantar.

“Waktu itu saya bersama teman-teman, ada merekam percakapan antara pemilik perusahaan dan pemerintah. Karena ingin mendapatkan kaset rekaman itulah kita di uber-uber. Jadi, kalau mengenai ancaman dan tuduhan suka buat onar, sudah sering dan biasa” ungkap Nurdin, kepada penyaksi.com, di Resto Kayu Manis Kota Palangka Raya, Sabtu (21/4) siang.



Meski begitu, niat dan semangat mantan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng dua periode ini tidak kendur, sebaliknya semakin berkobar untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan serta hak-hak masyarakat yang dirampas para kapitalis atau pemilik modal.

Sebab menurut bapak tiga anak ini, lingkungan ataupun sumber daya alam (SDA) di Indonesia khususnya Kalimantan Tengah di kuasai para kapitalis atau pemilik modal. Dimana kondisi pengurus atau penguasa bangsa ini, tidak memerdulikan kepentingan masyarakat kelas menengah kebawah.

Bahkan, kesan sekarang ini begitu tampak begitu jelas, terjadi perkawinan antara kapitalis dan birokrasi. Perkawinan ini bagaikan anak panah yang menancap ke tubuh manusia. Menancapnya cepat dan tidak begitu terasa, tapi mencabutnya sangat sulit, menyakitkan hingga berdarah-darah.

Maksudnya, para kapitalis datang membawa uang dan langsung menguasai lahan yang dianggap memberikan keuntungan berkali-kali lipat, tanpa memperdulikan izin serta pemiliknya. Sedangkan birokrasi –Eksekutif, legislative dan Yudikatif- berlomba-lomba menawarkan serta memberikan perlindungan bagi para pemilik modal tersebut.

Perlindungan tersebut terlihat dari banyaknya perusahaan tidak memiliki izin lengkap, namun tetap beraktivitas. Ditambah lagi, sulitnya masayrakat memasuki kawasan tambang maupun perkebunan karena dijadikan objek vital Nasional (Oviknas) tanpa alasan yang jelas.

“Coba lihat di gerbang-gerbang pertambangan, ada tulisan Oviknas. Apa-apaan itu, PDAM dan PLN yang jelas-jelas milik Negara, tidak ada tulisan Oviknas. Bagaimana bisa perusahaan swasta di jadikan oviknas, ini tidak masuk di akal. Saya marah dan prihatin dengan kondisi Negara yang tidak punya harga diri. Birokrasinya pun selingkuh dan kawin dengan kapitalis,” ucap suami dari Lili ini.

Nurdin menegaskan, pemanfaatan lingkungan ataupun SDA untuk kesejahteraan masyarakat harus di dukung semua pihak. Namun permasalahannya saat ini, eksploitasi atau penggalian tambang maupun pengembangan sawit, sama sekali tidak mencerminkan pelestarian lingkungan dan masyarakat hanya dijadikan buruh atau pekerja.

Jika pemerintah menginginkan kesejahteraan tercapai, masyarakat harus menjadi pemilik bukan sebagai pekerja yang kapan saja bisa diberhentikan. Faktanya sekarang ini, pemiliknya hanya segelintir orang asing.

“Untuk diketahui ya, pemilik perkebunan sawit di dunia ini hanya ratusan orang saja. Mereka-mereka ini jugalah yang bermain di Indonesia. Banyak sawit di Indonesia, tapi apa iya minyak goreng murah di Negara kita ini. Banyak perusahaan tambang, tapi apa, listrik saja kita harus mati hidup. Kemarin, kita harus menerima pemadaman listrik sampai 12 jam. Lalu buat apa banyak perusahaan Negara kita ini, kalau kita juga semakin sulit dan butuh biaya mahal untuk hidup,” tegas pendiri SOB Kalteng ini.

Pria kelahiran Banjarmasin ini, telah berkomitmen kepada dirinya sendiri akan selalu berdiri bersama masyarakat yang terpinggirkan dan lahannya direbut kapitalis melalui bantuan birokrasi, hingga tidak mampu lagi melakukan apa-apa.

Dia berharap agar masyarakat yang dulunya memiliki lahan, harus berjuang dan terus memikirkan cara agar lahannya dapat dikembalikan. Sebab, upaya mendapatkan lahan tersebut ada, hanya butuh perjuangan. Sedangkan bagi generasi muda, dia berpesan agar melestarikan lingkungan bukan sekedar sadar dan tahu, melainkan bertindak dari mulai hal-hal yang kecil.

“Memang secara ekonomi untuk aktivis lingkungan tidak ada, tapi namanya rezeki itu siapa yang tahu. Kalau saya untuk memenuhi kebutuhan hidup, ya atas bantuan teman-teman yang meminta saya meriset, fasilittor, dan lainnya. Pasti ada saja lah rezeki itu,” ucap Nurdin.

Kepedulian pria yang baru mengakhiri jabatannya sebagai dewan nasional Walhi, 17 April 2012 ini, menghantarkannya mengelilingi hampir seluruh provinsi yang ada di Nusantara ini. Bahkan, beberapa Negara, yakni, Singapura, Malaysia, Prancis hingga Jerman, pun pernah di kunjungi.

Saking pedulinya terhadap lingkungan, Nurdin bahkan ikut berdemo di salah satu kota yang ada di Negara Jerman. Dimana kota tersebut di kuasai Perusahaan raksasa di dunia, yakni PT Wilmar Group yang juga pemilik lahan perkebunan terbesar di Indonesia.

“Indonesia yang belum pernah saya datangi, ya Papua. Syarat datang kesana hanya dua, yakni kuat minum dan makan babi. Sedangkan saya tidak bisa dua-duanya. Makanya saya tidak berani datang kesana,” pungkas Nurdin sembari tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar